Seminggu yang lalu, saya berakhir pekan di Yogyakarta. Inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di bekas ibukota negara Indonesia tersebut. Selama beberapa waktu sebelumnya, empat kali saya berkesempatan pergi ke sana, namun selalu ada hal yang membuatnya tidak jadi. Ketika akhirnya kesempatan itu datang lagi, tak tergambarkan bagaimana senangnya di hati.
Ah Yogyakarta, gambaran tentangnya sudah terlekat di benak saya sejak waktu yang lama. Baik dari liputan yang saya baca maupun cerita langsung dari orang yang pernah mendatanginya. Tak terhitung berapa teman saya yang berkesempatan sekolah di sana. Bahkan mereka yang hanya berkunjung beberapa hari pun, selalu merindukan Yogya setelahnya. Semua merasa sama, jatuh cinta pada Yogya. Semua berpesan serupa, bahwa saya harus ke sana.
Jumat 8 Agustus 2008, saya terbang ke Yogya. Dua malam menghirup udaranya dan menyaksikan dinamikanya untuk sementara. Menarik, saya suka. Begitupun, saya belum bisa merasa cinta. Realistis bukan? Mana bisa mencintai sedangkan kita belum tahu banyak tentangnya.
Juminten di Malam Pertama
Malam pertama di sana, hawa dingin langsung menerpa. Menurut teman-teman, saat itu Yogya memang sedang dingin-dinginnya. Saya teringat cerita kawan, bahwa siang harinya Yogya bisa sepanas Jakarta, namun saya tak pernah tahu bagaimana suhu Yogya di malamnya. Perjalanan diawali dengan melewati kampus Universitas Gadjah Duduk Mada, salah satu universitas tertua di Indonesia. Kampus di mana terdapat pemisahan kawasan belajar menurut bidang keilmuan. Blok sosial dan blok eksak. Saat itu saya berharap bisa mengunjungi kampus tersebut pada siang hari. Kehidupan kampus manapun selalu menarik minat saya, membuat saya hidup dan merasa menjadi “orang muda” (tapi saya memang masih muda).
CRV Tika membawa saya ke Nol Kilometer, jaraknya sepelemparan mercon dari Benteng Vredeburg. Pada Nol Kilometer, sekitar 20 orang bercengkerama bersama. Tertawa-tawa, sesekali asap rokok mengepul dari mulut beberapa di antara mereka. Pedagang makanan di dekat mereka. Ramai, seperti bukan di malam hari saja. Malam itu, saya berkesempatan hadir di Juminten, kumpul rutinnya teman-teman CA. Tengah malam, sekitar 30 orang berkumpul di sana, konon membuatnya menjadi salah satu Juminten yang paling ramai. Nol Kilometer, jelata CA, angkringan dan pengamen jalanan terangkai membentuk kenangan saya tentang Juminten, kumpul-kumpulnya bloger CA yang legendaris itu.
Selepas tengah malam, Gudeg Permata menjadi tempat tongkrongan selanjutnya. Ini kali kedua saya merasakan gudeg Yogya yang manis sekali. Tepat setahun yang lalu pada tanggal yang sama, saya merasakan gudeg Yogya di Jember. Karena itu saya tak terlalu terkejut dengan makanan teman nasi yang manisnya buat saya terasa seperti kolak itu. Kolak nangka, anyone? Hal yang membingungkan buat saya adalah bahwa ternyata makan nasi plus gudeg di waktu setelah tengah malam begitu adalah biasa di sana. Tidakkah mereka mengantuk?
Jam biologis saya yang sungguh teratur tak bisa lagi mentolerir pergeseran waktu tidur yang mendadak itu. Dalam perjalanan ke rumah Tika, empat kali saya tertidur dan bermimpi. Mungkin lain kali, saya bisa menjelajahi Yogya di waktu malam.
Malioboro sampai Wisma Djoglo
Pada hari kedua, saya bersama Zam diantar Adit (teman sekolah saya di Bogor) untuk mengunjungi Malioboro. Saya sungguh bersemangat bisa datang ke salah satu jalan paling terkenal di Indonesia ini. Namun saya tak sangka bahwa ternyata Malioboro jauh lebih ramai ketimbang yang saya bayangkan. Pedagang menutupi hampir separuh trotoar menjajakan barang yang pada umumnya serupa. Bakpia, batik hingga miniatur Borobudur ada di sana. Ramainya Pasar Beringharjo tak ubahnya Pasar Anyar Bogor menjelang Lebaran. Waktu yang singkat pun membuat kami tak bisa berlama-lama, setelah membeli batik di Beringharjo, kami segera meluncur ke Wisma Djoglo.
Saya kaget lho, di perjalanan tampaknya ada orang penting yang lewat. Seperti konvoi lainnya, ada polisi bermotor yang bertugas membuka jalan. Namun alih-alih membunyikan sirene (saja), polisi tersebut malah berteriak, “ojo tengok-tengok! Ojo tengok-tengok!” seraya menyuruh kami tetap melihat ke jalan. Di Bogor, rasanya belum pernah ada polisi yang berteriak-teriak,”tong luak lieuk! Tong luak lieuk!”. Hehehe!
Wisma Djoglo malam itu meriah oleh puluhan undangan launching Cerpenista, alasan sesungguhnya yang membawa saya ke Yogya. Seperti reuni keluarga besar saja, dari berbagai kota mereka berkumpul di sana. Saya hingga saat ini masih tak habis pikir, bisa ada ya ikatan yang membawa orang-orang dari dunia maya ini menjadi akrab di dunia nyata. Sampai satu titik, mungkin ya memang ada hal-hal yang tak perlu dipikir namun cukup dirasakan. Cerpenista itu sendiri sungguh fenomenal, namun rasa kekeluargaan yang melahirkannya buat saya adalah salah satu hal ajaib lainnya.
Perpisahan Sementara di Hari Ketiga
Pada hari ketiga, lelah mulai terasa. Selain memang tidak ada acara khusus, tidak ada (atau sulitnya) akses menjelajahi kota memaksa saya berdiam di Wisma Djoglo. Tidak seperti Bogor dan kota di Jawa Barat pada umumnya, kendaraan umum di Yogya terbilang minim. Tidak ada yang namanya angkot, bajaj dan semacamnya. Kecuali mempunyai kendaraan sendiri atau ada teman yang bersedia mengantarkan, maka sulit bagi turis untuk ke sana kemari. Ada bis dan taksi, tapi tanpa rekan jalan dan rute wisata yang memadai, saya tak berani jengjeng sendiri.
Ada satu hal yang menarik terjadi, pada hari itu saya bertemu dengan teman SD yang tak pernah kujumpai selama 12 tahun. Banyak perubahan pada dirinya, mulai fisik (iya lah!) hingga pembawaan. Mungkin kalemnya Yogya juga yang membuatnya bermetamorfosa dari cowok bawel rekan berantem waktu SD, menjadi cowok bongsor jenggotan yang pendiam dan tidak berbicara bila tak ditanya. Nice to meet you, Rio!
Menjelang sore, Terminal Jombor menjadi titik terakhir langkah kaki saya di Yogya. Bis eksekutif yang saya naiki di sana membawa saya kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas hidup sebelumnya. Kembali ke hari-hari di mana cita-cita berkeliling dunia selalu terbayang di benak saya. Sekali ini ke Yogya, lain kali kembali kesana, dan kali lainnya keluar Indonesia. Semoga.
Tiga hari terasa amat singkat. Ya, terlalu cepat untuk saya yang telah merindunya selama bertahun-tahun. Aneh ya, merindu sesuatu yang bahkan belum pernah saya miliki dan belum pernah saya jumpai. Tapi tentu saja, saya tak harus segera ke sana. Ada waktu yang tersisa, ada cita yang menunggu saya.
Saya belum cinta Yogya, mungkin baru tahap “naksir”. Seperti percakapan sesaat Cinderella dengan Pangeran pada malam pesta yang bikin tertarik, maka pertemuan singkat ini selalu terngiang sesudahnya. Yogya dan semua cerita tentangnya, masih ada candi, lesehan, keraton dan tempat eksotik lainnya. Saya ingin kembali ke sana, untuk mengenal Yogya dan menikmati semua detailnya yang memesona.
Moral postingan ini: Setiap kota mempunyai keunikan tersendiri. Semua mempunyai cerita dan pesona yang tak ‘kan habis untuk diceritakan. Andai saja kita bisa menjaga keunikan masing-masing daerah dan tidak terjebak oleh ide modernitas yang seringkali mengesampingkan nilai-nilai tradisi, tak terbayangkan betapa menakjubkannya negeri ini.
70 thoughts on “Yogyakarta dan Cinta yang Baru Dimulai”
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
Aku terharu… 😛
saya jgua terharu
jadi? mo balik lagi? belajar begadang dulu non.
pakde mbilung juga seharusnya ikut terharu. . .
*timpuk mbilung pake batu menhir*
nimpuknya dengan penuh haru, tentu saja
Belum nyampek Sarkem Non >:)
Whuaaa! Gudeg! Di Jogja kalau kelaperan malem-malem biasanya saya ke gudeg batas kota.
kemarin juga baru merasakan pulang langsung dr juminten ke semarang jam 3 pagi … serem juga 😀
*ikut2an terharu*
Pasti pengen cepat2 balik lagi tuh.. 😉
Tapi bener apa yg dirasakan oleh nonadita. Kumpul2 dengan blogger ato komunitas lain di Jakarta sangat berbeda rasa dengan kumpul2 dengan blogger2 Jogja. Mungkin itu juga yang membuat nonadita (termasuk saya) berkesan… *ikut2 @ketuakelas terharu*
yah, sayang sekali banyak yg telah berubah. Bahkan kraton solo telah menyewakan aset tanah mereka untuk pasar swalayan. Bagaimana cara yg muda yg ngerasa untuk menjaga tradisi itu, tentunya.
nice non, sayang kemaren waktu ke jogja lom masuk cahAndong. maen ke sana ach..
Iye.. Jogja emang (entah gimana) bisa bikin gue ngerasa harmless. Keliling malem” di dalem kota, sampe tembus keluar ringroad, nongol” udah di bantul.. Temen gue juga ada yang cinta mati sama jogja walopun dia bukan orang jogja asli. Semua orang punya alesan untuk cinta jogja. Termasuk gue.. yang bakal dateng ke jogja untuk mengenang sesuatu..
^^v
Entah mengapa saya idem komen terharu.
Eh, gue udah bisa komen yak? Akhirnya bisa juga komen dari ponsel..
*terharu udah bisa komen*
Kota ini memang terasa lain. Pernah 2 kali kesana, masih kepingin lagi. Ndengarin Jogjakarta-nya Kla Project dulu ah….
aaah kangen jogja! saya waktu di jogja 5 hari tapi kok berasa gak cukup ya? pengen ke jogja lagi!
heee sebagai pemuja gudeg ndak terima gudeg disamain ama kolak nangka ;))
Terharu… Terbaru… Tersanjung…
Gak pernah mudeng jalan di jogja. Mungkin itu yg bikin susah jatuh cinta padanya.
Waaa, ternyata habis ada kumpul2 seleb blog di Jogja. Wah, selalu ketinggalan berita kalo untuk yg beginian. Jadi terharu juga deh. 🙁
hhmmm…, jadi tambah bulat nih tekad buat ngerencanain liburan akhr tahun di yogya… 😀
wah Nan… kalo baru pertamakali ke Jogja aja langsung dapet chemistry gituw mah wajar banget.. sama dengan berjuta2 orang lainnya. Jogja hanyalah a very tiny piece of beautiful Indonesia. mangkanya jangan kebanyakan monitoring ajah.. selalu berkutat di dunia maya. diluar sana banyaaaaak bangeeeeet keindahan lain Indonesia yang soooo amazing.
btw, week end 17an kemaren aku traveling Garut-Tasik dna nginep di Kampung Naga loh…! it was extremely great adventour!
di jogja emang minim angkot, tapi bisa jalan kaki kan? menikmati arsitektur campur aduk ala jogja, kalo dah capek tinggal panggil becak buat pulang 😀
jadi, MERDEKAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
@ Titi: hoho.. aku malah ke Bromo.. 😀
@ Dita: aku ndak bisa berkomentar apa-apa.. aku yakin kamu tau perasaanku.. 🙂
Wah, bulan madu yang asyik…
gudeg permata mending, buka jam 9 malem.
ada juga gudeg yg bukanya jam 2 pagi
ehehehehe
sirik ah, nggak bisa ngikut 🙁
eh dit waktu baca judul postingan ini … “cinta yang baru dimulai” kirain… hihihiihi 😀
wagh..asik tuh kumpul ramai2..
trus..itu awal dari kisah cintanya emang yak ??
wah..congrats yak 😉
Hmmm… Yogya, tujuh tahun saya habiskan waktu di sana. Salah satu kenangan yang gak akan pernah saya lupakan…
jalan2 aje nih ditaaa 🙂
btw, ikut ya tanggal 24 🙂
ditunggu 🙂
mohon konfirm, ke blognya Hangga
Kota dimana mimpi saya tergantung, bukan mimpi yang muluk… tempat bersantai di hari tua, menikmati suasana damai dan tentram. aku rindu Jogja, laksana seseorang merindukan sahabatnya.
ko yang diomongin makanan mulu sih… 😀
yogya yang sekarang tidak seperti dulu…sayang sekali… 🙁
jogja memang candu
Jogja kota berhati nyaman yang takkan tergantikan … 🙂
Hiks…hiks… Jogja memang tiada duanya
Jogja emang gak ada matinya…selalu bikin kangen untuk balik dan balik lagi……
Jogja kalo malam lebih romatis dan nyenengi
paling uenak n murah, pecel lele ma ayam di gang skitaran monjali.. hmm.. yummy.. 🙂
jangan sering-sering ke jogja ah, apalagi kalo mesti pake surat izin mulu 😀
lho kok ndak ada cerita tentang mas zam sama sekali non? *ngarep*
wah.. telat sehari saya. tapi saya udah juminten kok.. akhirnya.. hehe
Jadi kangen Marlioboro!!!
Jd pengen ke jogja…
😀
hmm..akhirny saya ketemu si nona bermata indah di jumintem mlm itu.romantisme jogja,ah..jadi kangen jogja.
-booking hotel bwt juminten next week-
wah,keyen critaña…
jd pgn gabung..
lam nal…
Nice site… Jadi inget jogja… Moga mbesok bisa mudik lagi deh… Amin
ke yogya gak ngajak-ngajak
🙁
ada kota yg asyik karena begitu banyak tempat yang asyik dikunjungi di sana. ada juga karena penduduknya emg manusia asyik.
… dan djogdja asyik, karena kedua-duanya.
jogja ya mbak!!…
wii,,,
lum pernah sekalipun nginjekin kaki disana!…
wah… jadi kangen neh ma yogya….
dh 4 th euy nggak kesana.. terakhir pas reunian SMA akhir tahun 2004
Cinta bs tumbuh di mana
dan kapan saja….
pintu cinta hrs sll dibiarkan terbuka
Huhu.. jadi pengen ke Jogja nih 🙂
klo aku biasanhya makan gudeg di daerah deket kampus ISI lama. namanya gudeg cherry kerna mangkalnya di depan toko berjudul cherry. gudegnya mantab mana pake pete pulak! yummm… yummm…
Baca tulisan anda tentang jogja, saya jadi kangen sama kota itu. Dari 1987-1997 saya pernah kuliah di sana. Kenapa lumayan lama?? Karena saya lambat lulusnya. Selama 10 tahun, saya gak bosan2 nya buat menapak jalanan kota. Menyusup malamnya Malioboro, nikmati bau pasir Parangtritis, melawan dinginnya Merapi. Ahh…sampai sekarangpun…kangen itu masih ada.
waduh, jadi makin kangen ama jogja..banyak spot asik disana, mulai dari heritage sampe yang hedonis, dan kalo uda sekali kesana pasti pengen balik lagi..semua sudut kotanya memorable. Next 2 weeks, saya berkesempatan merayakan Lebaran di Jogja, udah ga sabar banget neh.. 🙂 btw, thanks ya mbak komenna di blog saya, mahapkan baru sempet main balik, ga sempet blogwalkngan kecuali weekend, itu juga kalo ga males..hakhak..Have a blessed day!!
oleh olehnya mana non ^^
hmmm.. nonadita di jogja sempet ntobain sate klathak ga?
hmmm.. nonadita di jogja sempet nyobain lapen sama sate klatak ga?
i love Jogja…….!!!
Jogja is my lovely city… muach… muach… muach….
i was born, stay n grow up in Jogja…
can’t leaving Jogja…
visit my page please… n feel free to leave comments…
http://clickmango.blogspot.com
Cheerful Christmas. Let all of your wishes could occur real for you personally as well as your spouse and children in addition to lets hope the next year or so become successful for all those all of us. Merry Christmas