Dari Butterfly ke Game Online

Dari Butterfly ke Game Online

Pernahkah anda menemui masalah di lingkungan namun merasa bingung harus melapor ke mana? Atau merasa laporan permasalahan lingkungan ditanggapi terlalu lama? Hal semacam inilah yang dulu memunculkan ide di benak keempat mahasiswa ITB ini untuk membuat aplikasi yang memudahkan pelaporan masalah lingkungan, secara cepat. Namanya Butterfly.

Praktisnya begini, saya melihat kejadian tanah longsor di suatu tempat. Saya bisa langsung mengirim SMS yang akan diterima oleh parapihak yang bertanggungjawab. Distribusi SMS ke parapihak tersebut berdasarkan kata kunci  yang ada pada SMS yang dikirimkan, misalnya kata “tanah longsor” membuat SMS tersebut terkirim ke Dinas Pekerjaan Umum setempat. Selanjutnya, parapihak tersebut akan menindaklanjuti laporannya.

Temuan ini lantas diganjar dengan penghargaan The Rural Innovation Achievement Award dari Microsoft  Imagine Cup 2008 di Perancis. Tentu saja Arief Widhiyasa, Dimas Yusuf Danurwenda, Ella Madanella Dwi Mustika dan Erga Ghaniya boleh berbangga. Ya, keempat orang yang kala itu tergabung dalam Tim Antarmuka telah mengharumkan nama Indonesia. Kewl!

Saya pun bertanya-tanya, rentang waktu setahun sejak penghargaan tersebut tentulah dilalui dengan pengembangan pada sistem Butterfly? Namun ternyata dugaan saya salah. Temuan keren tersebut belum diaplikasikan bahkan tidak dilanjutkan pengembangannya. 😥 Pemerintah  tak punya cukup dana untuk mendukung pelaksanaannya. Dukungan swasta rupanya tiada, penemuan ini dianggap tidak ada profitnya.

Maka Butterfly, temuan yang telah mendapatkan penghargaan internasional itu belum mendapatkan kesempatan diproduksi. Padahal mereka sudah membuktikan kemampuannya, dunia pun sudah mengakuinya.

Ngobrol bersama Pemenang Imagine Cup

Kejutan lain saya temukan dalam pembicaraan kami sore itu. Ternyata Arief Widhiyasa dan teman-temannya merupakan game developer yang produknya sudah dikenal di luar negeri. Mereka sudah membuat game online bahkan sejak sebelum memenangi Imagine Cup. Tak ada Butterfly, game pun jadi prestasi.

Agate Studio, nama perusahaan mereka, kini sudah menjual produknya kepada konsumen di luar negeri. Promosinya langsung saja, tawarkan langsung ke perusahaan internasional. Profit berupa dollar kini dinikmati oleh sekitar 17 orang karyawannya yang sebagian besar adalah mahasiswa tersebut.

Arief mengakui, masih sulit menemukan orang yang bersedia memodali pengembangan perusahaannya. Mungkin di Indonesia, game belum dipandang sebagai bidang usaha yang memberikan profit besar. Padahal, “game itu sudah jadi kebutuhan”, katanya. “Orang rela menunda makan demi main game, dan banyak orang begadang untuk main game”, lanjutnya. Beberapa game adalah candu, khusus buat saya. :mrgreen:

Kaget memang ketika dia menyatakan bahwa ada sebuah perusahaan game di Korea yang omzetnya tahun lalu lebih besar daripada Microsoft. Saya setengah tak percaya awalnya. Tapi hal ini mungkin saja, toh memang perkembangan game sekarang sangat pesat. Lihatlah penetrasi game konsol di kalangan anak Indonesia. Tak usah jauh-jauh, berapa aplikasi game di Facebook yang anda mainkan sekarang ini? Melihat kenyataan demikian, rasanya peluang Agate memang cerah ke depannya. 🙂

Bila kemudian Butterfly tidak jadi dikembangkan, Arief dan teman-teman tidak lantas berputus asa. Walaupun, “kecewa juga. Develop softwarenya selama 2 bulan. Nilai satu semester dapat C semua”, kenangnya. Kecewa ada, tapi tak sampai membuatnya berhenti berkarya.

Pemuda yang masih berstatus mahasiswa ITB ini pun berkonsentrasi pada pembuatan software yang menghasilkan profit, serta keinginan untuk membuat software untuk kegiatan sosial suatu kali nanti. Ada satu cita-cita yang tersimpan di benaknya, “mau bikin tools supaya orang bisa bikin game gratis”.

Game Ponporon Kreasi Agate StudioMasih mahasiswa, tapi sudah bisa mengelola usaha. Jualan produk ke luar negeri, dibayarnya pake dollar lagi! Ah, mereka benar-benar menginspirasi..

Moral postingan ini: Saya mengutip kata-kata para pemenang Imagine Cup 2009 yaitu Samuel Simon, “jangan menjadikan studi sebagai alasan untuk berkembang”. Kalau Dody berpesan, “jangan cepat-cepat lulus, berkaryalah! Paradigma harus diubah, jangan sampai kuliah menghambat kita untuk berkarya”.  :mrgreen: Wah saya udah telanjur kerja, jeh… hehehe!

35 thoughts on “Dari Butterfly ke Game Online

  1. Pemerintah tak punya cukup dana untuk mendukung pelaksanaannya. Dukungan swasta rupanya tiada, penemuan ini dianggap tidak ada profitnya. –> inilah pandangan yang harus dirubah. selama ini profit cuma dianggap sebagai nominal duit yang masuk ke kas. padahal sebetulnya profit kan bisa diliat dari sisi lain. contoh: dengan adanya software tersebut, penanganan bencana akan lebih cepat. yang berarti suatu daerah yang terkena bencana akan bisa pulih dengan lebih cepat. yang artinya kerugian yang diakibatkan oleh bencana tidak akan menjadi lebih besar. iya kan?? social venture capital begini yang belum bisa dipahami pebisnis kebanyakan. in truth the world is shifting towards that way.. i think.. ^^

  2. kisah nyata yg inspiratif banget… thx yach utk infonya. tapi apakah dengan keahlianku yg biasa aja bisa menjadi seperti mereka ? setidaknya tidak satu bidang, but utk menjual produk ke luar negeri itu.. waaaa.. perlu pemikiran dan disiplin yg mantap.

  3. Kalau Dody berpesan, “jangan cepat-cepat lulus, berkaryalah! Paradigma harus diubah, jangan sampai kuliah menghambat kita untuk berkarya”.

    Ha?? Masa sih?
    Emang Saya pernah ngomong gitu ya Mbak???
    he..he..

  4. Bagaimana pemerintah mau membiayai, wong APBN aja masih defisit. Jadi ga bisa disalahin jg klo pemerintah akan melihat dari sisi profitnya dulu.

    Senangnya bisa berkarya di bidang yg disukai, Salut buat Tim Antarmuka 🙂

  5. gitulah negara ini, buat bangun gedung mewah ajha, pasti ada dananya.. buat sebuah prestasi?? nihil…!! liat ajah susi susanti yang pernah mengharumkan nama bangsa.. skrg beliau kerja apa??? apa negara menanggung hidupnya sampai tua nanti??? NGGAK..!

  6. Mungkin kisah di atas satu dari jutaan potensi anak bangsa
    yang belum dapat diakomodir dan difasilitasi oleh pemerintah

    Kenapa Ya?

    Moga, pemerintah SBY yang baru dengan Menristek yang baru dapat merespon ini dengan bijak
    Salam kenal…

  7. karena pemerintah ndak pernah merhatiin orang-orang kreatif dan berprestasi kayak gitu, banyak diantara mereka yang menjadi cracker. defacer dan lain-lainnya 🙁

  8. wah ternyata keren ya 😀
    salut buat mereka, keep n’ creative!

    mbak ditaa
    apa kabar? hhehe..masih inget ga ya
    monggo mampir ke blog aku ya

  9. “quote keren nie: jangan menjadikan studi sebagai alasan untuk berkembang

    “jangan cepat-cepat lulus, berkaryalah! Paradigma harus diubah, jangan sampai kuliah menghambat kita untuk berkarya” tapi kalau gak lulus2 kebangetan namanya hehehe

  10. (jangan buru-buru lulus!)…sekarang malah saya ga lulus-lulus…sibuk di kerjaan terus…tapi sayang banget tuh butterfly-nya….masa iya harus di-Klaim sama negeri orang dulu baru dapet perhatian????

    MAJU TERUS IPTEK INDONESIA!!!

  11. saya paham dengan keprihatinan mereka. belajarlah dari JOGJA..gudang temuan yang tak pernah mati meski tak berMODAL (see: http://jogjacreative.wordpress.com).Kuncinya satu jangan pernah mengandalkan diri pada orang lain pa lagi nunggu peMODAL. IT’S TIME TO MOVE, DO REAL ACTION.

    BUTTERFLY, tidak sendiri ada SHU TEA – SHU JAM teh bunga sepatu, cafe P2KM dan berbagai menu kreatif, DIA-FLAKE flake dari garut, danbanyak lagi.

    pascalis
    http://jogjacreative.wordpress.com

Leave a Reply to nova Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top
%d bloggers like this: