Selepas sholat, saya malah tertarik memotret sekumpulan bakiak yang saya temukan pada musholla di sebuah gedung di Jakarta. Sudah lama juga saya nggak memakai bakiak untuk pergi wudhu, sekarang ini banyak musholla yang memilih sandal jepit sebagai pengganti bakiak.
Bakiak, alas kaki yang berbahan kayu dan sobekan karet ban bekas. Kayu yang dipake juga umumnya kayu bekas atau kayu KW 2. Bakiak biasa digunakan pada aktivitas yang dilakukan seputar kamar mandi dan pekarangan. Kenapa? Mungkin karena awet.
Selama saya masih jadi anak sekolahan, saya kerap bersentuhan dengan bakiak. Dia menjadi teman sehari-hari, mulai dari masa orientasi siswa, menjalankan ibadah harian hingga menjalani hukuman. Begitulah rentang fungsinya: sebagai pendukung ibadah serta alat hukuman.
Bakiak sebagai Teman Ibadah
Bakiak sebagai alas kaki yang digunakan untuk bersuci (baca: wudhu) memang lazim ditemui di mana-mana. Tak terkecuali di SMA saya itu. Pada tahun pertama saya masuk sekolah, tempat wudhu masih berada beberapa meter dari teras musholla. Bakiak-bakiak yang jumlahnya ratusan ini selain sebagai inventaris sekolah, namun juga sumbangan tugas yang dibebankan kepada siswa baru pada saat orientasi siswa.
Pemilihan bakiak untuk alas kaki milik umum (bukannya sandal jepit), mungkin disebabkan banyaknya peristiwa pencurian sandal jepit. Kadang ada peristiwa kehilangan sandal jepit musholla yang disebabkan bukan karena pencurian (yang disengaja). Pengguna sandal bermaksud meminjam sandal hingga ke luar wilayah musholla (main bola di lapangan atau sampai rumah), namun kemudian malas mengembalikan. Ada juga kejadian orang kehilangan sepatu di teras musholla, kemudian “meminjam” sandal musholla untuk pulang ke rumah. Namun sandal musholla kemudian tak kunjung dipulangkan.
Apakah bakiak berarti bukan sasaran pencurian? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Menginjak tahun kedua, jumlah bakiak yang tersisa di teras musholla berkurang hingga hanya 70%. Entah hilang atau rusak. Yang jelas tahun ini, bakiak masih masuk daftar tugas yang harus dikumpulkan siswa baru di almamater saya itu.
Bakiak sebagai Teman Hukuman
Tidak memakai sepatu hitam dan terlambat datang ke sekolah berakibat sanksi yang sama: memakai bakiak selama jam pelajaran sekolah. Begitulah.. bakiak teman ibadah beralih fungsi sebagai alat hukuman. Mungkin maksudnya adalah memberikan efek jera kepada siswa terhukum. Supaya malu. Benarkah?
Kepala Sekolah pernah memarahi saya begini:
Kamu sekolah terlambat melulu! Pacaran aja sih setiap hari di sekolah!
$%^&%!! Siapa juga yang pacaran tiap hari di sekolah? Saya mah biasa di mall!
Saya sebagai siswa yang pernah hampir diskors gara-gara sering telat, juga pernah merasakan sanksi tersebut. Tapi yah, dasar emang ngeyel saya enjoy aja tuh. Pake bakiak selama belajar malah enak, adem. Bisa naikin kaki ke atas kursi, tanpa repot buka sepatu. Artinya: itu hukuman kurang efektif!
Moral postingan ini: Mari bersama merawat barang-barang milik publik. 😀
19 thoughts on “Bakiak, Untuk Ibadah Sampai Hukuman”
Leave a Reply Cancel reply
This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.
uhui,. satu 😀
😀 ah teman hukuman saya bukan bakiak, tapi kemocing, bukan temen sih, sebenernya dia executor,.
setiap kali pergi maen kelamaan, pasti sudah menanti kemocing,.
SLAAAPPPHHH!! *one man down!!,. i repeat,. one man down!!*
jadi inget dapet bakiak dr jepang 4 tahun yg lalu belum pernah dilihat lagi
*ngecek bakiak*
Kayaknya di Indo aja deh yang ada bakiak, disini adanya sendal jepit gratis..haha
sayangnya saya ndak pernah nemu bakiak yang cukup buat kaki saya :p
bakiak?? sakit makenya…
lumayan buat ngelempar anjing yang ngejar saya pas sepedaan…
buat lempar maling asik juga kayanya :p
Untung aja muridnya yg kena hukum pake bakiak,
g bisa bayangin kalo gurunya yg pake,
bisa-bisa tuh bakiak dilempar ke non ;))
udah jarang neh nemu bakiak
saya jadi inget dengan massa kecil saya. saya mengenal istilah bakiak ini dengan nama “klompen” atau “teklek”..
bakiak dulu menjadi barang priibadi, bukan barang publik. hampir semua orang yg hendak ke masjid Ampel, menggunakan bakiak ini. bunyinya yang khas, klotak-klotak, membawa nuansa tersendiri. rumah nenek saya (yg notabene terletak di depan jalan utama menuju masjid Ampel) membuat saya sudah “terbiasa” dengan bunyi klompen ini.
penjual teklek ini dengan mudah dapat ditemukan di sepanjang jalan “pasar kampung arab Ampel” atau yg saya kenal dengan nama “ghubah”. bentuknya macem-macem. kalo dulu cuma kayu polos yg dibentuk sedemikian rupa dan dengan slop ban bekas, kini bentuk dan warnanya macem-macam. ada yg dicat warna-warni dengan diberi lukisan bunga-bunga, dan ada juga bakiak yang dibentuk semacam “jarum-jarum” di bagian atas yg berfungsi sebagai “terapi akupuntur”..
entah sejak kapan penggunaan bakiak ini “akrab” dengan rutinitas ibadah. namun saya sudah mengenal bakiak sebagai “alas kaki” ke masjid atau ke kamar mandi sejak saya kecil. fungsinya, tentu untuk menghindarkan kaki kita dari “najis”.
di rumah, saya masih menggunakan bakian ke kamar mandi, meski lantai sudah menggunakan ubin keramik. rasanya “kurang afdol” aja kalo ke kamar mandi tanpa menggunakan bakiak. mungkin ini udah jadi kebisaan kali, ya?
hehe..
nice post! mengingatkanku akan masa kecil.. 😉
bakiak, repot makenya, kadang gak datar terus karetnya keras. Posting yang sangat menarik.
Ngomong-ngomong Bogor memang terbaik. Salam dari Bogor Timur.
Kalo bakiak alus gitu sih mending…
bakiak yang katanya buat therapi trus ada kayak paku2 tumpul itu lho…
aneh deh di kaki…
Jangan lupa, sisakan satu atau dua pasang Bakiaknya. Itu dapat menjadi monumen kecil mengingatkan kita pentingnya beribadah dan tidak telat sekolah. Mana tahu anak-anak kita terinspirasi mengembangkan “Bakiak Modern” yang sesuai dengan jamannya.
Menarik benar, tulisanmu!
Pamit, saya link blog ini ke http://poltak.simanjuntak.or.id
Horas
Mmmhh…coba dung ada yang menulis sejarah bakiak di Indonesia. Kayaknya menarik klo bisa sampe di runut..
inget bakiak…inget pilem oshin
bakiak… menurut saya karena relatif lebih jarang dicolong.
eyalah….
ternyata dihukum suruh pake bakiak, saya pikir ditimpuk 😀
justru enak dong kalo gitu… adem, sejuk…