Keresahan Seorang Pekerja

Sebuah email berjudul “Sudahkah anda berada di tempat yang tepat?” membangunkan suatu perasaan di hati saya. Memunculkan (lagi) pertanyaan di benak saya, yang (lagi-lagi) dibayang-bayangi ketidakpuasan seputar pekerjaan yang kini dijalani.

***

Ketika kuliah, pernahkah anda membayangkan akan bekerja sebagai apa? Akankah bekerja di bidang yang dipelajari selama kuliah? Lalu ketika sudah bekerja, masih adakah idealisme yang dulu tumbuh semasa kuliah?

Seorang teman menjawab, “saya kan oportunis!” ketika kami mendiskusikan soal ini. “Ada peluang untuk hidup lebih baik, ya ambil saja”, begitulah kira-kira katanya. Seakan mengamini pilihan teman-teman kami yang membelokkan kemudi hidupnya, berbeda dengan bidang yang selama ini digelutinya. Termasuk mereka yang bekerja di tempat yang dulu sempat “dimusuhinya”.

Ada mantan mahasiswa anti rokok yang kini menjadi karyawan di perusahaan rokok, mantan calon dosen yang kini meniti karir menjadi bankir, juga mantan aktivis BEM yang malah bekerja di perusahaan yang dulu ditentangnya habis-habisan.

Tak perlulah muncul pertanyaan, “ke mana idealisme yang dulu dibangun bersama?”, karena jawabannya sudah jelas meski kadang terdengar sebagai pembenaran. Apa salahnya bekerja di perusahaan rokok yang menghidupi ribuan petani tembakau? Apa jadinya petani tanpa bank yang akan memberikan kredit mikro? Orang bisa berubah, termasuk juga semua perusahaan dan institusi yang kita kenal.

Kenyataannya, kita masuk kampus sebagai individu pun ketika kita lulus darinya juga sebagai individu. Individu yang bertanggung jawab atas pilihannya. Sehari setelah wisuda, sarjana segera menghadapi kenyataan bahwa dunia kerja tak selalu semulus bayangannya. Berbagai kompromi (harus) terjadi. Pekerjaan itu ‘kan adalah hasil senggol-senggolan antara minat pribadi, peluang dan kebutuhan untuk bertahan hidup.

Bila idealisme perlahan terkikis, bukan semata-mata karena keadaan tapi konsekuensi sebuah pilihan. Diakui atau tidak, pada akhirnya semua pekerjaan berpulang pada pilihan yang kita ambil. Di mana kita sekarang dan akan menjadi apa kita nantinya, tergantung pada pilihan yang dibuat pada detik ini.

Idealnya adalah memang bekerja untuk tujuan yang baik, di tempat yang baik dan menjalankan proses kerja yang baik pula. Di mana pun itu, menjadi apapun itu. Sayangnya, tidak semua bisa mendapatkan kesempatan demikian. Termasuk saya, yang masih mencari peluang ke arah sana. Semata menjaga sebuah idealisme, namun tak bisa berkompromi dengan hasil yang ala kadarnya. :mrgreen:

Moral postingan ini: Tak semua orang berkesempatan bekerja sesuai keinginannya, selalu saja ada penyesuaian di berbagai sisi. Syukurilah kesempatan yang ada, namun buka mata untuk kesempatan yang datang. Sebelum lupa, tentukan dulu tujuan hidup kita. 🙂

82 thoughts on “Keresahan Seorang Pekerja

  1. lho? kamu pekerja tho? tak kirain ……
    idealisme harus tetap dipertahankan, karena apalah arti kesuksesan jika arah hidup hanya ikut kemana angin berhembus, idealisme menurutku adalah semacam framework sebagai panduan buat meniti hidup dan kalo perlu di-‘upadate’ idealisme-nya ya silakan di-‘update’ idealisme-nya 😀

  2. yaa..begitulah rahasia hidup…
    bicara soal idealisme, emang kita akan dihadapkan dengan sebuah kepentingan.
    seperti seorang journalis yang tidak bisa mengeksplorasi pemikirannya terhadap sebuah peristiwa, karena harus mengikuti kepentingan perusahaan..

    yang pasti menjadi seorang BLOGGER
    akan menjadikan kita mencapai idealisme itu dengan mengungkapkan semuanya pada tulisan.

  3. @ zam: sayangnya di dunia yang bersinggungan dengan saya sekarang ini, itulah godaan terbesar
    @ iway: saya pekerja, mas. saya juga setuju dengan adanya “update idealisme”, tapi bukan mau mengganti total. jika tiada lagi yang tersisa, sama saja dengan berubah menjadi orang lain
    @ jafis: pada suatu titik, blogger juga menjadi tidak bebas. ada kalanya seseorang ngeblog karena tuntutan lingkungannya, dengan isi tulisan yang dijaga sehingga tidak melecehkan tempatnya bekerja
    @ easy: dilemanya lama banget ya pasti, sampe udah mencapai jabatan manager :mrgreen: makin lama bisa makin berat lhoo
    @ lelouch: kemakmuran itu kan relatif. saya yang kuli begini, bisa jadi merasa lebih makmur ketimbang anda yang bos. Saya bekerja bukan sekedar untuk makmur, tapi ingin menjalani hidup yang lebih baik dan enak dipertanggungjawabkan kelak nanti.

  4. kegelisahan berikutnya muncul, setelah bekerja, namun kemakmuran yang dicita-citakan tak juga tercapai.
    sementara tuntutan hidup semakin tinggi, kompetisi semakin ketat dan tak ada jaminan jabatan saat ini akan langgeng 😀
    he..he..he.. hidup itu indah rekan 😀 walau rumit ..

  5. gw percaya gak ada yang ideal… semuanya perlu adjustment, dan seperti kata ndoro , itu semua proses pembelajaran… tapi gw juga punya pakem – pakem yang gw tetapin sendiri

  6. @ kuro: bukan hanya uang, tapi juga jabatan. Termasuk kedudukan di
    masyarakat. Kalau sudah menyangkut hal ini, uang itu bukan lagi sebagai
    tujuan. Tapi ALAT
    @ ndoro kakung: ya, saya percaya ini bagian dari pembelajaran, Ndoro. Tapi bahkan belajar pun selayaknya di tempat yang baik dan kondusif
    @ uni: insya allah, mbak uni. Untuk bidang ilmu, masih sesuai. Cocok sekali malahan. Di sini idealismenya bukan soal bidang keilmuan, tapi hal lain 🙂
    @ lelouch: vote for him, then!
    @ suprie: dunia yang ideal itu memang utopia, sup. Tanpa berusaha untuk adjust, kita cuma akan menjadi manusia purba yang terinjak-injak di belantara dunia digital. Pakem2 yang sifatnya sungguh unik ini, di antaranya ada yang tidak bisa digugat tho?

  7. Seperti kata nona, syukuri kesempatan yang ada. Kata “syukur” itu sendiri artinya luas loh, tidak terbatas hanya mengucapkan “rasa syukur” saja seperti mengucapkan Alhamdulillah, tetapi lebih dari itu. Seperti yang saya kutip dari perkataan seorang sufi bernama Muhammad Ibnu Abbad, bahwa rasa syukur berawal dari meyakini penuh bahwa apapun yang datang dari Tuhan adalah baik (berprasangka baik terhadap Tuhan), sehingga akan timbul rasa lapang dada, rendah hati, dan yang paling penting bijaksana dalam menghadapi segala sesuatu. Saya akui hal ini sulit untuk dilakukan termasuk oleh saya. Intinya bagaimana menjadi bijaksana…

    Kalau masalah idealisme kenapa harus dalam hal pekerjaan saja?! Kenapa idealisme itu tidak berangkat dari kehidupan sehari-hari kita, dari hal2 yang kecil seperti mempertahankan idealisme kita untuk selalu mengucap doa sebelum makan, makan pake tangan kanan, sambil duduk, dsb. Saya sih hanya ingin mengingatkan bahwasanya kita sering melupakan hal2 kecil karena terlalu banyak memikirkan hal2 yang besar, padahal tanpa hal2 yang kecil maka tidak akan ada hal besar 🙂

    Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan.

  8. Terima kasih telah main-main ke blog kami yg lama di http://jutix.dagdigdug.com
    Memang saya sudah pindah…hehehe…masih di media massa, cuman beda perusahaan…yg jelas disini saya lebih bisa berekspresi dan mengoptimalkan diri…
    seperti halnya postingan anda, memang pekerjaan apapun akan menuntut kita untuk senantiasa berkompromi dengan diri sendiri untuk menuju pencapaian yang lebih tinggi. So, sebaiknya jalani pekerjaan kita tanpa perlu mengeluh sebelum kita bisa memberikan yang terbaik. piss…:)

  9. kesempatan untuk berbuat yang terbaik bisa dilakukan dimana saja. Tidak terkecuali di tempat kerja. Idealisme adalah sebuah landasan pemikiran yang bisa kita aktualisasikan dalam kegiatan-kegiatan di tempat kerja. Pada kasus ini, jangan mencari hal yang kontradiktif dalam hidup anda, karena begitu banyak hal yang selaras yang masih bisa kita jumpai disekitar kita. Mulailah dari sana . .
    [04]

  10. inget profesorku waktu kuliah bilang gini:
    -mahasiswa itu idealis
    -menjadi pekerja itu realistis
    -punya banyak duit akhirnya jadi kapitalis

  11. idealisme dan realitas akan selalu berbenturan. Toh pada akhirnya akan ada kompromi. Terlau mempertahankan idealisme di jaman seperti ini, nantinya akan kepayahan juga. Keadaan menggiring kita menjadi oportunis sekaligus kapitalis *sigh*

  12. Krn susah cari kerja, wiraswasta jadi alternatif sih, dan itu balik lagi ama peluangnya, hobinya dan modal uangnya 🙂
    Aku aja kuliah pilih jurusan gak sesuai ama hati, soalnya kampusnya gak ada jurusan yang sebenernya aku suka. May pilih sesuai dengan hati, apa daya ortu gak mengijinkan 🙁

  13. @ navi: termasuk berusaha DEAL dengan lingkungan pekerjaan? :mrgreen:
    @ Anggi: duwh anggi komentarnya bikin ku terharu. Bener gi, masalah idealisme tidak hanya dalam pekerjaan saja, tapi dalam hal lain juga. Tapi berusaha mencari (dan memberi) yang terbaik [bah! IPB banget], salah satunya juga di pekerjaan tho?
    @ wartawangoblog: saya salut pada Anda yang berani pindah kerja, salah satunya didasari tanggungjawab pada keluarga. Betul, kompromi dengan diri sendiri memang harus dilakukan.
    @ didut: menerima pekerja juga gak, dut?
    @ andi: Memang banyak hal dimulai dari cara pandang kita terhadap sesuatu. Ketika merasa tidak puas, ya yang terlihat hal2 yang kontradiktif itu
    @ hedi: ahaha… iya iya bisa begitu. Sekarang ini, saya masih jadi pekerja yang manis 😀
    @ randu: cari kerjaan itu mirip2 cari jodoh emang. Mungkin lebih susah malahan..
    @ don danang: betul, pada titik di mana keduanya berbenturan itulah kompromi diperlukan. Ngga segitunya kali mempertahankan idealisme, saya cuma orang biyasa.
    @ fauzansigma: lho.. ada lho mahasiswa yang sejak kuliah saja idealismenya adalah uang. Gimana tuh kalo kasusnya gitu?
    @ bibir manado: wiraswasta OK juga sih. Tapi nggak semua orang berani memulai wiraswasta pada saat kondisi finansial masih pas2an kayak saya gini. Masih perlu tambah wawasan, nambah tabungan dan cari peluang, caranya ya dengan kerja ke orang lain dulu :mrgreen:

  14. Jika Idealisme itu = sesuai dengan studi/ilmu, sepertinya persaingan akan di rasa sangat ketat sekali dan mungkin di rasa sempit
    Tapi jika Idealisme = tujuan Hidup, pasti dunia kerja itu akan lapang sekali 🙂

  15. Hahaha…setuju pamantyo…

    Saya termasuk yang berbahagia, karena selama bekerja saya mendapat banyak ilmu, bisa meniti karir tanpa batas, dukungan suami dan anak-anak yang mandiri (tak rewel ditinggal ibu bekerja yang kadang harus turne seminggu lebih)….juga ilmu dan pekerjaan saya saling mendukung. Walau saya dari IPB seperti Nonadita, tapi bekerja di bank, banyak melihat proyek pertanian, berdiskusi dengan petani, bahkan malah sering berkeliling ke seluruh pelosok negeri. Dari sisi agronomi, saya jadi memahami tanaman tembakau dilapangan, kelapa sawit, perkebunan tebu, perkebunan teh…dan juga dulu diajari ekonomi mikro/makro yang dapat diterapkan di dunia kerja. Juga belajar menuliskan proposal, analisis, yang nanti berguna sebagai latihan mengajar…dan akhirnya setelah pensiun, profesinya mengajar. Tanpa bekerja di perusahaan tsb, saya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

    Namun kondisi sekarang berbeda, si bungsu mulai memikirkan karir apa yang akan dijalaninya nanti, bagaimana agar keluarga tetap bisa berjalan bersama dengan karirnya….apalagi jika tinggal di Jakarta yang semakin macet, bahkan memutari jembatan Semanggi di sore hari perlu waktu satu jam. Jadi, saya memahami tulisan di atas, karena keresahan itu saat ini milik anak-anakku, akan berkarir dimana.

  16. Wew… satu lagi posting mencerahkan…
    Idealisme vs Realita … ada yang sukses dengan mempertahankan idealisme,tapi jauh lebih banyak yang melebur idealismenya karena tuntutan peruthidup..
    1 Question :
    Bersyukur dengan yang didapat berarti mengalah terhadap hidup??

  17. Wew… satu lagi posting mencerahkan…
    Idealisme vs Realita … ada yang sukses dengan mempertahankan idealisme,tapi jauh lebih banyak yang melebur idealismenya karena tuntutan perut hidup..
    1 Question :
    Bersyukur dengan yang didapat berarti mengalah terhadap hidup??

  18. tadi,aku baca judulmu “Keresahan Seorang Perjaka”….ah..ternyata ada yg salah di mata saya…

    saya.??? sudah menemukan lentera,bahwa kerja itu tidak jauh dengan bertamasya..kekkeke
    bersama yg saya cinta tentunya…[red-lektop,hp,motor,betina]

    *nyungsep ke semarang*

  19. ketika nanti ada di posisi yang boleh dikatakan mentok, siap-siap untuk gelisah tahap kedua. ujung-ujungnya konsultasi ke ‘dokter wawan’, lalu siap-siap beres-beres meja 😀

  20. aku juga bekerja di tempat yang dulu adalah tempat terakhir yang kubayangkan akan menjadi tempatku bekerja.
    tapi sekarang ya enjoy aja…

  21. @ yudha ginanjar: setuju, kang. Emang idealisme itu tidak semata2 berpusat pada masalah bidang keilmuan. Tapi lebih ke tujuan ingin menjadi apa diri kita ini. Kerja di bidang yang sesuai cuma salah satu langkah.
    @ paman tyo: Benar, Paman. Itu mungkin yang ideal. Tujuan banyak orang tuh :mrgreen:
    @ edratna: Senang ya, Bu, bila pekerjaan kita memberikan kesempatan kita untuk berkembang dan bisa tambah ilmu di banyak bidang lain. Do’akan saya
    supaya bisa sesukses Ibu, ya 🙂
    @ unclebob: terserah anda lho. Bisa dibikin supaya sreg atau mencari yang lebih sreg. Saya prefer berusaha dulu supaya sreg sebelum cari yang baru.
    @ cm4ank: bersyukur dengan apa yang didapat tidak selalu berarti mengalah terhadap hidup kayaknya. Bersyukur ya berarti ikhlas dan menerima apa yang didapat sebagai suatu anugerah, bukannya menerima sesuatu sebagai seorang yang kalah
    @ escoret: wheeww.. pepeng mesti cuci mata! bekerja sambil bertamasya? ah saya kenal tuh seseorang yang pengen begitu juga.
    @ cecep: dokter wawan itu siapa ya? Pada setiap tahapan hidup manusia, gelisah itu selalu akan menghampiri. Apa yang akan kita lakukan (cari solusi atau menyerah), itu baru pilihan
    @ ma2nn-smile: sip sip.. keep smile untuk semua! cheers!
    @ annots: di puskom itu ya, nots? hehehe! selamat buat annots kalau begitu
    @ latree: tapi akhirnya betah kan ya, mbak? bisa jadi nanti juga bisa enjoy dengan apa yang didapat. tapi biasa mbak, masih muda ya masih semangat cari yang terbaik 🙂

  22. Kalau buat saya sih, intinya gak perlu ngotot sok ngerasa bener… Malu atuh, skrg maki2 pekerjaan orang, ntar malah kerja di sana… yang penting sih tetap bijak. Dan kalau keblusuk kerja di tempat yang kita gak suka, usahakan bisa menghasilkan yang terbaik dari pekerjaan kita. Bukan cuma soal uang, tp jg apa yg bisa ditinggalkan buat orang lain…

  23. idelaisme akhirnya tergusur juga jika tidak ditopang dengan mengepulnya asap dapur. Blog juga demikian, akhirnya saya harus mengalah untuk mempertahankan idealisme dengan membuat blog baru.. 🙂

  24. Yah, memang jalan hidup seseorang itu tidak ada yang bisa menebak. Sekolahnya jurusan ini, nanti kerjanya bidang itu. Memang tidak ideal, tapi itu kenyataan. Belajar itu memang sepanjang hidup, jadi selama kita bekerja, juga kita belajar dari orang lain, buku, koran, google dll.

    gpp lah, non…

  25. Penginnya waktu kecil bekerja dengan banyak orang (Pabrik), ternyata uang saku pertama diperoleh dari studio mungil. Dan akhirnya cita2ku terkabul bekerja di pabrik, tapi entah mengapa sekarang udah mulai pengin kerja sendiri. ya…. begitulah yg namanya roda kehidupan.

  26. bersyukur itu jauh lebih memudahkan kita untuk melakukan apa yang kita jalani sekarang.. 😀
    jadi, jangan resah, tetap buka mata dan cari kesempatan yang lebih baik lagi…

  27. @ Edo: bener banget, Mas. Seringkali karena nggak suka dengan suasana kerja, kita malah kerja dengan kualitas seadanya. Memang susah sih, kalau mencampur pekerjaan dengan emosi heheh!
    @ dony alfan: mungkin bisa kalau kasusnya begini: oportunis (selagi ada kesempatan) sabet kerjaan yang sesuai dengan idealisme. Hoaah.. tapi kapan bisa begitu ya?
    @ jagoan seo: iya, blog bisa jadi salah satu kasus. Merasa jadi pribadi yang berbeda nggak sih kalau kayak gitu?
    @ andi sugiarto: betul mas andi, saya juga setuju bahwa belajar itu tidak berhenti selama seseorang hidup.
    @ kishandono: bukannya kedua kata itu hanya bersinonim ya?
    @ temon: mon, lo cerdas banget dah! tolong di-share ide konspirasinya..
    @ namakuananda: betul, kadang rejeki datang dari lahan yang tidak kita sangka2 sebelumnya. Senang dong ya kalau udah bisa mencapai cita2nya
    @ andre: saya malah belum pernah dengar lagu dan lihat videoklipnya :mrgreen:
    @ kangtutur: dan sebagian di antara mereka ada yang selalu ragu2 dalam melangkah..
    @ dilla: betul, mensyukuri tapi tetap buka mata ya

  28. realitas dunia memang seperti itu, alangkah eloknya bila kita punya kemampuan yang cukup sehingga mempunyai kekuatan untuk menempuh idealisme sembari mencari uang 🙂

  29. Hmm.. paling enak kalau bisa bekerja sesuai dengan keinginan dan mendapatkan reward melampaui harapan. Kalau pun kondisi tidak memungkinkan jangan sampai cita-cita lepas dari genggaman, genggam terus wujudkan kelak di saat yang tepat, pada waktunya.

    Hidup itu Dit, kalau dipikir-pikir sama seperti dirigen sebuah orchestra, harus bisa mengharmoniskan semua instrumen agar enak bunyinya pada waktunya. Kapan waktunya kita mainkan instrumen pragmatis? Kapan waktunya yang tepat kita mainkan idealisme kita? 😉

  30. Saya cuma berpegangan pada pepatah,..
    Nggak ada sekolah buat Presiden, Nggak ada sekolah buat jadi Sutradara Film hebat, Nggak ada sekolah buat jadi bankir hebat…
    Semuanya hanya basic foundation, apapun pendidikannya. Selebihnya tergantung nasib baik dan kerja keras.

  31. uwah, gitu ya kalo nanti udah kerja.. haduh, realita kadang suka engga sama dengan yang kita impikan.. tapi setuju tuh sama Yoga, kata2nya bagus hehe 🙂
    sebetulnya nanti yang nentuin ya kita2 juga kan,
    kata spiderman : We always have a choice 😛

  32. Excellent post! Memang indah hidup dalam dunia idealis dan menjadi sakit ketika diharuskan menjadi realistis. Tapi bersikap realistis bukan berarti sikap yang pasrah. Mungkin hidup tidak sesuai dengan idealistisnya kita dan realistis seperti menjadi pilihan yang terbaik. Tapi bersikap seperti itu bukan berarti menyerah.

    Saya setuju, dengan kamu. Mensyukuri ya, tapi jangan berhenti untuk menjadi lebih baik lagi. Pilihan di tangan kita dan dengan tangan kita pula kita harus mampu mengatasi resiko-resikonya.

    Untunglah ada blog, karena setidaknya kita bisa menjadi seorang idealis di hidup yang serba realistis he..he..he..

    Salam kenal ya Dit, a very nice blog you have here 🙂

  33. yah itulah hidup .. itu cmn salah satu contoh kasus aja kli ..
    gw mah ikut kata kang kabayan aje deh 🙂
    “seblum kaya mending kita mimpi dulu jadi kaya..” heheh,, bukan mksd males or something like..
    but 4 me .. “life are paths of chasing my dream” 🙂
    tanpa mimpi apa arti nya hidup :)…
    tanpa harapan dan tujuan apa arti nya hidup .. so menurut gw.. punya idialisme itu bagus :).. tapi allah know the best 4 us 😉 enjoy the proses aja 🙂

  34. @ ryu: bener banget heheh! masih inget ya?
    @ angga: betul, semoga setelah lulus tidak berganti dengan keresahan mencari kerja yah :mrgreen:
    @ mutia: menjadi yang terbaik atau berusaha memberikan yang terbaik nih?
    @ okta sihotang: nanti cerita yah kalau kamu udah dapet kerjaan. heheh!
    @ henny p: hohohow.. elok sekali itu sih. Sukses sekaligus happy
    @ yoga: intinya fleksibel yah, mas? beradaptasi dengan keadaan yang ada
    @ iman brotoseno: bener, mas iman. nasib baik dan kerja keras itu yang langka, dan tidak semua orang punya. Memang masih bisa diusahakan sih..
    @ ghea doang: realita kadang berbeda 180 derajat dengan impian kita lho. tapi kadang di ketidaksamaannya itu kita menemukan hikmah
    @ adit; terimakasih mas 😀 realistis memang bukan berarti pasrah, saya cenderung untuk mengartikannya sebagai adaptasi (tentu dengan tidak serta merta melepas mimpi). Tapi ada kalanya, bahkan di blogosphere pun kita harus kehilangan idealisme kita. Semua bisa terjadi.
    @ just “z”: saya juga pernah mendengar nasihat, bermimpilah ketika kita sedang terjaga, bukannya ketika tidur. Karena kalau sedang terjaga, maka mimpi itu akan berbuntut dengan rencana/usaha untuk mencapainya. Kalau nggak salah sih gitu :mrgreen:

  35. ini email yang ada gambar orang di dalem mesin ATM dsb dst itu bukan sih? hhe.. yah semoga kita semua dapet kerjaan yang terbaik menurut Allah.. =)

  36. dari awal, saya masuk jurusan kuliah ini udah kejebak… lalu tetap dijalani… bahkan tempat saya bekerja sekarang pun, sebenarnya adalah tempat yg dari dulu paling dihindari… dari dulu saya emang selalu realistis aja… ga mau terlalu idealis… dan saya bersyukur… saya senang… (ga biasa pake saya, jd berasa aneh… hehe…)

  37. Akh, aku sih ga pernah kepikiran gitu sih dan ga pernah muncul pertanyaan gitu di benak….. karna do wat u like and dont do what u dont do what u dont like…. 😀

  38. kerja sesuai bidang saat kuliah (komputer) ? aku dapatkan.
    imbalan yang sesuai ? ya…lumayanlah, itu relatif, walau masih banyak tanggungan hutang dan belum bebas secara finansial. 😀
    puas ? nggak juga tuh. karena aku merasa kuliah dan pekerjaanku sekarang hanya sebatas untuk survive sebagai manusia hidup. kuliah di bidang yang masih banyak dibutuhkan, dan alhamdulillah akhirnya cepat dapat kerja yang lumayan (relatif lagi). tapi, sesungguhnya ujung dari keinginanku adalah bisa punya bengkel sendiri dan mencintai otomotif dengan sepenuh hati. Nah, kuliah dan kerjaan yang sekarang adalah bridge menuju ke sana (asal jangan kejebak terus di tengah jembatan ya, hehe ). ngumpulkan modal, kalo bisa (harus dong).
    nah, sekarang waktunya kita berdoa bareng2, biar bisa dapat kebahagiaan dan keinginan masing2, yang kadang2 di tengah jalan mengalami ralat. 😀

  39. kata orang bijak:
    “cintailah pekerjaanmu, bukan perusahaanmu. Karena kamu tidak akan pernah tahu kapan perusahaan berhenti mencintaimu…”

  40. Ucapan Arai dalam Sang pemimpi lebih memompa semangatku untuk bekerja dengan sungguh-sungguh 🙂

    ”Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!”

    Aku tersentak dan terpaku memandangi ayahku sampai jauh, bentakan-bentakan Arai berdesingan dalam telingaku, membakar hatiku.

    ”Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati…..”

    Aku merasa beku, serasa disiram seember air es.

    ”Mungkin setelah tamat SMA kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli, tapi disini Kal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita!!”

    Mendahului nasib! Dua kata yang menjawab kekeliruanku memaknai arah hidupku. PESIMISTIS TAK LEBIH DARI SIKAP TAKABUR MENDAHULUI NASIB.

    ”Kita lakukan yang terbaik di sini!!”

  41. Memang bicara tentang idealisme dalam kenyataan hidup sehari-hari agak sulit, apalagi dihadapkan pada pilihan dalam kaitannya dengan perut.
    Saya setuju dengan pernyataan “Bila idealisme perlahan terkikis, bukan semata-mata karena keadaan tapi konsekuensi sebuah pilihan. Diakui atau tidak, pada akhirnya semua pekerjaan berpulang pada pilihan yang kita ambil. Di mana kita sekarang dan akan menjadi apa kita nantinya, tergantung pada pilihan yang dibuat pada detik ini.” dan juga paling tidak kita punya gambaran-gambaran konsekuensi yang kita ambil saat ini. spertinya memang kita masihperlu belajar banyak

  42. wah! rame banget blognya. blog say juga kan seperti ini! akan dan harus bisa! ya kak? walau masih sma. sy punya potensi. siapapun anda, anda punya potensi. blog adalah potensi luar biasa untuk membangun bangsa kit. btw, kita sama-sama ank pramuka nih kak! wah, kita hebat. pramuka bangga memiliki kita.

Leave a Reply to andi Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top
%d bloggers like this: