Film Pertaruhan: Menyoal Otonomi Perempuan

Siapa yang menentukan nilai atau perlakuan terhadap perempuan (dan tubuhnya)? Setidaknya ada tiga: agama, stereotipe masyarakat dan norma yang mengikatnya.

Adalah Pertaruhan (At Stake), sebuah film dokumenter keroyokan karya lima sutradara. Film yang dibuat oleh Kalyana Shira Foundation bertutur mengenai kisah beberapa perempuan yang bisa kita temui dalam hidup kita sehari-hari. Pertaruhan merupakan film dokumenter yang terdiri atas empat cerita dengan kisah yang berdiri sendiri, namun ada benang merah yang menghubungkan keempat film tersebut.

Benang merahnya adalah isu-isu seputar perempuan khususnya otonomi perempuan terhadap tubuhnya sendiri. Keempat kisah berbeda dalam film Pertaruhan dengan nadanya sendiri menyuarakan pertanyaan yang sama seperti yang tertulis pada awal postingan ini.

Salah satu kisah bertutur mengenai sunat perempuan yang lazim ditemukan di Indonesia dan beberapa masyarakat lain di dunia. Padahal beberapa kalangan menilai sunat (khitan) perempuan belum jelas dasarnya hingga sekarang. Dari segi agama, masih menjadi perdebatan akibat dianggap tidak adanya dalil yang kuat. Agama Islam mewajibkan khitan hanya pada anak laki-laki.

Pada kenyataannya dari segi kesehatan, sunat perempuan dinyatakan tidak bermanfaat. Bahkan Departemen Kesehatan di berbagai negara sudah melarang praktek ini. Begitu pun, di beberapa tempat di Indonesia hal ini masih ditemui. Cerita “Untuk Apa?” menyajikan potret sunat perempuan di Indonesia yang terutama didasari oleh anggapan negatif kaum patrialkal mengenai perempuan yang tidak bisa mengontrol hasratnya. Berbasis pada stereotipe dan kebiasaan semata, dan bukan pada fakta kesehatan yang lebih nyata.

Maka hukum “wajibnya” sunat perempuan menjadi suatu kesalahpahaman yang turun temurun. Mengakar dalam kebudayaan disertai dengan sterotipe negatif mengenai perempuan, yang dalam beberapa kebudayaan justru disanjung. Ketidakkuasaan untuk menolak kebiasaan ini menyisakan tangis bayi perempuan yang membekali trauma pada sebagian dari mereka. Cerita yang mengeksplorasi sunat perempuan dari aspek agama, budaya, isu jender hingga medis ini menyisakan pertanyaan, sunat perempuan ini untuk apa/untuk siapa?

Ketiga cerita lainnya menampilkan kisah yang terbilang getir, namun sesekali diwarnai sisi komedi (atau ironi?). Cerita “Mengusahakan Cinta” menampilkan kisah dua orang TKW di Hongkong yang bertahan terhadap stereotipe pihak lain terhadap pilihan hidup mereka. Cerita “Nona Nyonya” mengisahkan persinggungan antara kebutuhan perempuan atas akses terhadap pemeriksaan kesehatan reproduksi dan penghakiman masyarakat atas perempuan lajang. Cerita “Ragat’e Anak” mengisahkan hidup sehari-hari dua perempuan pemecah batu di Tulungagung yang menjajakan tubuhnya, dengan harga kurang dari sepertiga harga kopi Starbuck.

Isu utama yang diangkat dari keempat film ini adalah bahwa di masyarakat, masih ada yang sebagian dari kaum perempuan yang belum memiliki hak penuh atas tubuhnya sendiri. Bahwa pengambilan keputusan atas perlakuan terhadap tubuh perempuan masih belum menjadi otonomi si perempuan, namun masih dibatasi dan diatur oleh beragam sterotipe dan norma yang mengelilinginya. Film ini telah mengemas kisah sehari-hari menjadi cerita yang mengguncang emosi. Cara kita memandang sesuatu pun tak akan sama lagi.

40 thoughts on “Film Pertaruhan: Menyoal Otonomi Perempuan

  1. film ini sebetulnya bikin sadar, bahwa sebebas apapun ia dari sistem masyarakat, seorang perempuan bakal selalu terpenjara dalam tubuhnya sendiri. ini baru soal tubuh.. belum soal pengetahuan dan ilmu ya dit

  2. Dah lama ga nonton film yang berisi kaya gini, membuat kita ingin mencari tau kebenaran…. πŸ™‚

  3. Hmm konsep otonomi perempuan ini gimana sih, ngga ngerti aku, apalagi kalimat nona…

    masih ada yang sebagian dari perempuan yang belum memiliki hak atas tubuhnya sendiri.

    Merasa sedikit rancu…… tapi kalo aku bilang sih perempuan jaman sekarang dah rada sotoy, misalnya, dikasih enak tinggal di rumah leha leha maunya malah kerja dan berkarir…. padahal anggaplah semua itu mampu ditanggung sang suami…

    Lantas, hal begini disebut dengan hak atas tubuhnya sendiri… hmmmm mungkin ak harus nongton tu pilem dulu yak…

  4. secara medis, sunat untuk bayi perempuan memang ga ada.. baik secara medis mau pun agama. itu ga saya dapat waktu melahirkan Vio dulu… RSB-RSB besar sudah meniadakan sunat untuk bayi perempuan itu 😐

  5. @ bogorbiru: terpenjara dalam tubuhnya sendiri? waks.. kok sepertinya suram banget πŸ˜₯
    @ anggi: biasa nonton film kayak apa sih? kapan2 nonton film2 festival aja nyok
    @ billy: iya sempet diputar di Metro TV
    @ raffaell: otonomi terhadap tubuh sendiri salah satunya memang soal pilihan untuk bekerja, mas. Di film ini ada perempuan yang terpaksa menjajakan tubuhnya semata demi menghidupi anaknya
    @ chic: masalahnya, masih banyak orang yang melakukan sunat pada perempuan tanpa disertai dengan pengetahuan yang jelas, melainkan sekedar meneruskan tradisi saja.
    @ tantursyah: film ini merupakan dokumentasi dari kehidupan nyata para tokohnya, memang sehari-harinya seperti itu. Menurutku, selama setiap orang masih punya pilihan, hendaknya setiap pilihan diambil dengan didasari pertimbangan yang matang.
    @ eka situmorang: yes you should πŸ™‚
    @ fadhly: nontonlah kalau begitu, tampaknya masih roadshow ke kota-kota
    @ -goenrock-: berbeda-beda, mas gun. Kalau di rumah sakit, biasanya beberapa hari setelah dilahirkan. Kalau di Indramayu itu pada umur balita, kebayang dong ngerinya πŸ˜₯
    @ wennyaulia: dari segi pencerahan kukasih 8 deh πŸ˜€

  6. sunat menyunat pd perrmpuan di indonesia memang banyak ragamnya dan caranya. menurut yg pernah saya lihat sih, di ranah sunda, sunat pada bayi perempuan itu hanya sekedar “dicungkil” pake ujung gunting kecil, tanpa ada darah sama sekali dan bukannya digunting. yang dicungkil pun hanya seperti mengeluarkan lemak/kotoran yg ada pada ujung miss V si baby

  7. Gak sia-sia… akhirnya ketemu juga blog Nonadita. Eh non.. btw profil + blognya nonadita pernah diulas salah satu harian lokal di Kalimantan loh… keren banget. Cerita dari awal ngeblog sampe jadi seleb di bloghosphere… Salut… Ijin merapat ya? Kunjungan perdana nih,.. jgn lupa sama rumah di dagdigdug πŸ˜€

  8. sunat pada perempuan? Wah baru tau.. Tapi menurut pendapat saya, hal tersebut hanyalah penyimpangan dari tradisi masyarakat. Mungkin dikemudian hari bisa diperbaiki.

    Tentang hak tubuh seorang perempuan, mungkin saya sarankan membaca buku My sister’s Keeper.. Kisah seorang anak perempuan yang dilahirkan hanya untuk menunjang hidup kakaknya. Bisa buat referensi.

    Selain itu, masalah tentang perempuan adalah hal yang di Indonesia masih belum didalami. Padahal dari jaman penjajahan sampai sekarang banyak sekali kasus-kasus seperti diatas.. Mungkin kita yang harus bertindak bukan mengharapkan pemerintah..

  9. @ dina: saya menonton di roadshow yang mampir ke Bogor, Mbak. Mungkin nanti akan ada CD-nya, tapi nggak tahu kapan :mrgreen:
    @ didut: nah lho, baru tahu kan? Serem lho..
    @ polar: nggak usah cari bajakan, Mas. Pemutaran filmnya gratis kok
    @ mastongki: sayangnya pilihan yang tersedia masih terbatas
    @ menik: waks…tetep aja sereeemm!! apalagi liat adegan persiapan proses sunat di film ini. Merinding gila!
    @ rusa bawean: sebagian besar begitu. Di Indramayu justru pada usia pra-TK. Yah seumuran balita gitu deh, nggak heran kalau lantas ada yang menjadi trauma karenanya
    @ belajar SEO: pasti sibuk ngenet demi ningkatin page rank ya πŸ˜›
    @ bahti baihaqi: wah “cara sufi” iki opo tho, mas? ora mudeng aku
    @ wisata seo: hallo salam kenal. Oh ya, pernah diprofilkan di koran Kalimantan ya. Duh jadi GR πŸ˜€ Mampir lagi ya nanti
    @ andreas: My Sister’s Keeper ya, baiklah saya masukkan daftar buku berikutnya πŸ˜€ Di banyak suku bangsa, hal sunat ini dianggap sebagai bagian dari tradisi lho, bukannya penyimpangan

  10. Aku sih belum nonton pilemnya non, tapi kayaknya menarik juga ya. Kenapa selalu perempuan yang dipersalahkan. Masalah ini sendiri sudah pernah saya ikuti diberitanya metrotv. Aneh-aneh aja bangsa ini πŸ™‚

  11. Film ini sepertinya memiliki kemiripan dengan “Perempuan Punya Cerita”
    Apalagi PH-nya sama. Hmmm… sutradaranya siapa saja???

  12. Hmmm..sebauh resensi yang berat di setiap pilihan kata nya,
    meski memakai bahasa yang agak berat,
    film ini layak menjadi refrensi buat yang ingin melihat sesuatu yang beda dalam menilai sesuatu,
    eh, begitu ya…

    Yup !

  13. permasalahan kewatinan memang sensitif saat ini. Apalagi di tengah isu kesetaraan gender. Padahal, sang subjek telah bebas dari keterkungkungan hidupnya, malah banyak kaum hawa yang sudah makmur. Di sini sekarang permasalahannya, mana kaum hawa yang menolong kaumnya? Permasalahan wanita bukan sekadar sunat klitoris belaka. Itu hanya isu yang dibesar-besarkan, padahal banyak sekarang wanita yang malah karena maju otaknya tambah menjadi mensubordinatkan wanita lain dengan industri seksnya. Gawaaat!
    Sunat itu memang tradisi bagi kaum Arab, ketika datangnya Islam, tradisi itu diteruskan. Sebenarnya, sebagai subjek Islam, saya memandang hal itu di luar konteks HAM, karena selain tradisi, hal itu tidak menyinggung kemanusiaan kita. Apakah sama dengan pemotongan kulup bagi pria? apakah itu pelanggaran HAM? selain itu, apakah menciderai moral orang lain bukan pelanggaran kemanusiaan? layaknya wanita yang berada di industri seks yang mengatasnamakan hiburan…

  14. yah sepengetahuan saya yang paling dasar, dan dibantu dengan pemberitahuan pada guru2 di sekitar saya, bahwa sunat bagi perempuan itu mengandung sedikit mencegah dari pada halnya penyakit, dan juga masuk dalam bab kesucian. sama halnya dengan laki”, kalo gak disunat (khitan) di dalam kulit “sana” terdapat banyak kotoran yang tersisa sehabis membuang kotoran kecil. dan kotoran yang tersisa disana, adalah sebagai najis.

    hehehehehehhe…. maap kalo ada ke-sotoy-an yang gak disengaja. karena itu pengetahuan dasar dari saya…. huhuhuhuhuh…….

  15. Neng,

    Perihal perempuan, gender dan empowerment on women serta persamaan hak dan lain sebagainya.. juga banyak diatur oleh badan dunia macam PBB serta Specialized Body of the UN –> UNIFEM, perlu juga diketahui bahwa apa yang terjadi dengan perempuan dan hak atas tubuhnya – pada daerah pasca-konflik seperti dibanyak negeri di afrika masihlah jauh tertinggal dari prjuangan kamu mereka di belahan bumi lainnya… semoga melalui film ini kita semua bisa sadar akan peranan dan kontribusi masing

  16. sunat menyunat pd perrmpuan di indonesia memang banyak ragamnya dan caranya. menurut yg pernah saya lihat sih, di ranah sunda, sunat pada bayi perempuan itu hanya sekedar β€œdicungkil” pake ujung gunting kecil, tanpa ada darah sama sekali dan bukannya digunting. yang dicungkil pun hanya seperti mengeluarkan lemak/kotoran yg ada pada ujung miss V si baby

  17. menarik sekali perbincangan di sini. saya sudah nonton film pertaruhan itu di Metro TV. film ini menjadi salah satu film indonesia yang lolos untuk mengikuti Berlin International Film Festival. testimoni penonton di sana, kebayakan mengaku sedih dengan nasib perempuan-perempuan di indonesia, bahkan penonton perempuannya banyak yang menangis ketika menonton film ini.
    satu hal yang terlintas dalam pikiran saya setelah menonton film ini, sebagai perempuan, adalah ketidakberdayaan. saya tidak mengatakan bahwa secara general perempuan indonesia atau di seluruh dunia, terperangkap dalam tubuhnya sendiri. namun kita tidak bisa menutup mata dengan kenyataan yang terjadi di sekitar kita. saya tidak mengerti mengapa banyak sekali perempuan tanpa sadar sudah tenggelam ke dalam stereotipe peran perempuan yang terlanjur terdefinisikan secara salah di masyarakat, seperti harus di rumah, nurut suami, menjaga anak dengan baik, dan peran-peran malaikat lainnya. seperti yang raffael bilang, seakan-akan perempuan yang leha-leha di rumah dan hidupnya ditanggung suami adalah solusi yang mengagungkan perempuan dan dimana seharusnya perempuan berterima kasih pada solusi itu (saya jd ingin tau, raffael sudah menikah ato belum ya? :)).

    ga bisa dipungkiri kalau agama punya peran terhadap pembentukan stereotipe2 itu. tapi setelah saya kaji, bukan agama yang salah, tapi pemahaman orang-orang yang mengikutinya yang seringnya salah dan tidak mengembalikan pada hukum agama-agama manapun di dunia: rahmatan lil’ alamin. bila dasar hukum ini diterapkan tentu stereotipe yang beredar di masyarakt tidak akan memenjarakan peran perempuan. saya setuju perempuan di rumah mengurus rumah dan anak, tapi bukan semata-mata saya HARUS melakukannya karena agama menyuruh saya, saya mau melakukan itu karena saya sayang suami dan anak saya dan tidak ada yang bisa melakukan pekerjaan itu lebih baik dari saya, dan apabila sewaktu-waktu saya INGIN bekerja, saya akan memulai karir demi kepuasan batin saya sendiri. saya pasti nurut sama suami semata-mata karena suami adalah pemikir hebat dalam menahkodai keluarga, bila saya punya ide lebih baik, sayapun punya kebebasan berpendapat. kalau saja esensi dari peraturan agama yang menyentuh isu gender tidak disalah artikan seakan-akan perempuan adalah masyarakat kedua, saya yakin, kerjasama pria dan perempuan akan melahirkan kesejahteraan bagi semua.

    saya rasa kesetaraan gender tidak mungkin terjadi. namun saya optimis dengan ide kesetaraan peran, dimana kasih sayang (rahmatan lil alamin) menjadi pondasinya.

Leave a Reply to didut Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Back to top
%d bloggers like this: